Serkom Dosen: Mendidik tidak mendadak

0
3137

Bidhuan.id – Transformasi pendidikan apoteker telah mencapai adaptasi yang sangat dinamis 6 tahun belakangan.  Asosiasi profesi (IAI) dan pendidikan (APTFI) melalui edukasi, sharing, dan informasi berkelanjutan membuahkan beberapa hasil positif. Salah satunya adalah difahaminya kurikulum tipe Z oleh para pengelola pendidikan dan keinginan untuk mengimplementasikannya. Dinamika yang relatif cepat ini beronsekuensi adanya perangkat-perangkat fundamental dan unsur pendidikan profesi belum lengkap.

Harapan yang ingin diwujudkan secepatnya adalah Pendidikan Profesi meminimalkan pembelajaran akademis. Di sisi lain perangkat asesemen kualitas dan sistem penjaminan mutu termasuk borang akreditasi belum sepenuhnya matching dengan kebutuhan. Istilah pembimbing profesi/peresptor/ pendidik profesi masih belum jelas. Di sisi lain wujud adanya dosen akademis sekaligus pembimbing/pendidik profesi cukup sulit dinalar untuk saat ini masa depan. Wujud tuntutan borang akreditasi PSPA pada standard 4 tentang SDM dosen, pembimbing PKPA dst  yang memiliki sertifikat kompetensi berpotensi membawa masalah. Meskipun secara pragmatis IAI dan beberapa PD mengambil kebijakan dengan menyelenggarakan OSCE Dosen dalam waktu ini. Walaupun beberapa hal terkesan mendadak tetapi mungkin berpegang pada pepatah”tiada akar rotan pun jadi” tiada masalah.

Jika ditilik lebih detail dan dianalisis tuntutan agar dosen “berperan ganda” sebagai dosen akademis dan dosen ranah profesi atau ranah klinis tidak realistis diwujudkan dengan beberapa pertimbangan:

  1. Dosen bukan manusia super

Regulasi dan tuntutan oleh kemenristek dikti terhadap dosen semakin berat. Tuntutan kinerja dan portofolio performa dosen Indonesia saat ini jauh lebih berat dibandingkan 5-10 tahun lalu. Kementrian menuntut dosen mewujudkan tri dharma: Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian pada masyarakat dengan mutu jauh lebih baik dari 5-10 tahun lalu. Dosen saat ini dituntut memiliki publikasi yang berkualitas sebagai syarat kenaikan jabatan fungsional. Dikhawatirkan 60% lebih dosen di Indonesia hanya akan berhenti sebagai Asisten Ahli atau Lektor saja. Kondisi ini ibarat pisau bermata dua.

Jumlah dosen dengan jabatan fungsional rendah memiliki nilai poin SDM pada borang rendah. Untuk akreditasi Asisten Ahli dan Lektor kurang dihargai. Di sisi lain dosen harus selalu tampil prima memberikan pembelajaran dan teaching yang berkualitas di kelas sudah memberikan presure tersendiri. Untuk memberikan kualitas kuliah yang baik perlu persiapan yang cukup, revisi konten dan skenario kuliah, serta mencari problem terbaru yang relevan. Jika menilik 85% PTF masih dalam tahap perintisan tuntutan dosen untuk “berkaki” akademis sekaligus seorang praktisi berpotensi pelemahan suatu program studi.

  1. Riset dan publikasi adalah momok dosen kini dan masa depan

Perguruan tinggi yang baik dicerminkan dari kualitas riset sebagai wahana pengembangan ilmu. Untuk membuat riset dan data berkualitas memerlukan effort dan waktu yang sangat cukup. Tidak bisa sambilan. Begitu pula untuk publikasi hasil riset diperlukan upaya menulis dengan fokus tinggi.

Untuk menjadi dosen dengan jabatan Fungsional Lektor atau Profesor, kemenristekdikti telah menuntut diwujudkannya publikasi di jurnal internasional/bereputasi. Untuk menulis artikel yang baik terlebih berbahasa Inggris dibutuhkan waktu berbulan. Begitu pula ke depan title associate professor dan profesor akan dituntut tetap memaintain gelar tersebut dengan publikasi Internasional/bereputasi secara reguler.

  1. Dosen bukan praktisi

Dengan tuntutan yang cukup berat sebagai akademisi saat ini kiprah dosen untuk berprofesi secara reguler dan profesional di klinik, apotek, industri sulit terwujud. Meskipun bisa dijumpai apoteker militan mampu mewujudkan berpraktek profesi di sore hari namun jumlahnya terbatas. Tuntutan dosen profesional sulit kompromi dengan tuntutan tsb.

  1. OSCE Dosen bukan solusi permanen

Diprediksi konten “OSCE Dosen” akan diarahkan kepada kompetensi ilmu resep. Tentu genre ini belum menjawab kebutuhan pendidikan profesi yang mencakup semua aspek pendidikan profesi, sebagai pembimbing yang kompeten.  Lebih jauh lagi, kenyataannya, partisipan dosen adalah orang-orang yang memiliki spesialisasi pendidikan akademis beragam: farmakologi, teknologi farmasi, kimia farmasi, farmakognosi, dst plus kinerja ranah beragam.

Tentu kita harus husnuzan bahwa IAI memberikan solusi ini untuk solusi sementara membantu beberapa institusi PSPA yang krisis serkom. Kita harus berterima kasih atasnya. Lebih jauh lagi kita harus yakin IAI, APTFI, atau mungkin KFN serta KIFI, insya Allah, memikirkan dan membuat solusi permanen untuk jangka panjang dan terbaik.

  1. OSCE Dosen berpotensi kecemburuan

Walaupun pada awalnya OSCE ini diharapkan memberikan solusi permasalahan pada PTF, sepertinya mengundang apoteker non dosen agar IAI memberikan ruang untuk mereka. Hal ini bisa difahami bahwa dibandingkan dengan menyusun semua dokumen portofolio mengikuti OSCE lebih simpel.

Agar warisan dari pemangku kepentingan Asosiasi dalam hal pendidikan tidak pendadakan. Maka dari itu perlu digagas bersama atas solusi atas isu SERKOM tersebut dan mungkin mendasar atas pendidikan apoteker, misal:

  • Perguruan tinggi farmasi harus memisahkan dosen akademik dan profesi secara tegas. Menilik model pendidikan dokter yang memiliki dua tahap: Pendidikan pra klinik dan Pendidikan klinik. Jadi dosen farmasi pada ranah akademik harus profesional mengelola tugas pokok, dan fungsinya. Demikian juga dosen profesi harus fokus pada ranah profesi dan out put riset pun pada ranah profesi. Sebagai konsekuensinya dosen profesi wajib hukumnya ber-SERKOM sedangkan dosen akademis sunah dan optional jika berpraktek.
  • Perumusan kurikulum PSPA harus lebih diperjelas. Sebagai konsekuensi dosen ber-SERKOM. Secara logic dan mengacu kepada kaidah normatif pola pendidikan profesi apoteker kita perlu ditimbang bersama.
  • Pereseptor harus memiliki pengertian, kualifikasi, dan terpisah secara home base dengan institusi. IAI dan institusi perguruan tinggi harus memilik standard, pola pendidikan jangka panjang untuk menjamin jumlah dan kualifikasi pereseptor yang cukup di semua tempat utama PKPA (Apotek, RS, Industri). Serkom wajib dimiliki oleh pereseptor. Seharusnya untuk menjadi pereceptor tidak harus S2 namun memiliki kualifikasi menurut IAI. Menarik sekali contoh di UWM: https://pharmacy.wisc.edu/experiential-education/becoming-a-preceptor/
  • Borang akreditasi terkait pendidik profesi dan aturan serkom harus dirubah sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dan salah faham oleh PTF.
  • Perguruan tinggi farmasi harus merekrut dosen dengan jumlah cukup dan mendesain pola pendidikan lanjutan untuk para staf-nya sebagai konsekuensi pemisahan tahap pendidikan itu. Dengan demikian mendirikan PTF tidak cukup hanya 6 dosen sebagai syarat ditjen dikti.

Semoga menjadi modal diskusi dan masukan untuk pemangku kepentingan pendidikan Apoteker.  Mohon maaf atas kesalahan dan ketidaktepatan ungkapan!

Azis Saifudin

Anggota Majelis APTFI (opini pribadi)

Baca: Konsil Farmasi Indonesia Solusi Menjamin Mutu Apoteker yang Jumlahnya Terus Meningkat

BACA JUGA