Dianggap Pencitraan Politik, Penggagas Replika Menara Eiffel Membantahnya. Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat telah berhasil membangun kembali replika menara Eiffel yang terbuat dari bambu setelah 117 tahun sempat berdiri untuk penghormatan penobatan Ratu Wilhelmina yang berkuasa sejak masa penjajahan Belanda pada waktu itu.
Gemerlap tahun baru 2016 sedikit berbeda di wilayah Setda Singaparna, Kabupaten Tasikmaya. Keindahan pergantian tahun dengan pesta kembang api tergambar dalam sebuah video youtube yang diunggah Netizen, Rian Bungsu berikut ini.
Pergantian tahun kali ini sekaligus menutup acara pegelara Seni dan Budaya Kabupaten Tasikmalaya (Motekart 2015) yang berlangsung selama 2 minggu. Namun pembangunan replika Menara Eiffel ini tidak sedikit menuai banyak kritikan. Salah satunya muncul dari Peneliti LIPI asal Tasikmalaya, Amin Mudzakkir.
“Selain agama, budaya juga sering digunakan para politisi untuk meraih kuasa. Mereka menggunakan istilah kearifan lokal untuk menjaga pengaruh luar. Lalu meminta pemerintah membuat kebijakan kebudayaan dengan dukungan anggaran tertentu,” kata Amin saat PKD Ansor di Ponpes Condong, Minggu (3/1/2016) dikutip dari kabarpriangan.co.id.
Menurut alumni UGM ini, para politisi dengan mudahnya salin baju menjadi budayawan atau sejarawan. Mereka memberi kesan seolah paling berhak mengurusi hal itu.
“Dengan demikian mereka memiliki akses leluasa atas kebijakan anggaran sehingga diciptakanlah suatu angan-angan atau mengikuti arsip lama dengan istilah demi kearifan lokal tadi,” ujarnya.
“Tapi apakah kearifan lokal tadi relevan dengan kebutuhan kongkrit masyarakat hari ini? Itu soal lain, terpenting kebijakan dijalankan, anggaran dicairkan. Yang akhirnya istilah kearifan loka hanya formalitas semata yang jauh dari praktik sehari-hari,” tuturnya.
Seorang penggagas pembangunan Menara Eiffel, Muhajir Salam dalam akun facebook pribadinya membantah keras apa yang tertulis di media kabarpriangan.co.id.
REPLIKA MENARA EIFFEL BAMBU ITU MURNI SENI INSTALASI KERAJINAN BAMBU
Ada beberapa koreksi yang perlu saya sampaikan kepada publik terkait dengan pembuatan replika menara eiffel bambu di Singaparna kab. Tasikmalaya,
1. Replika itu adalah murni sebuah proses karya seni instalasi para pengrajin bambu.
2. Replika itu didesain sebagai gerbang untuk memasuki area festival Seni, Kebudayaan, dan Kerajinan.
3. Replika itu dibuat tidak untuk dipermanenkan sebagai sebuah simbol atau ikon kab. Tasikmalaya.
4. Replika itu dibuat untuk menunjukan kepiawaian dan keahlian pengrajin bambu Tasikmalaya, yang memiliki kelebihan dan kemampuan dalam mebuat kerajinan dalam ukuran yang sangat besar/tak biasa, dengan hanya menggunakan peralatan sederhana.
5. Akan sangat sulit dan sangat mahal membuat replika mejid agung manonjaya, selain membutuhkan waktu yang pajang, kecuali dalam ukuran mini.
6. Terlalu naif, menuduh replika eiffel bambu itu adalah sebuah “MANIPULASI KERARIFAN LOKAL”. Karya seni para pengrajin bambu yang bernilai tinggi itu telah berdiri tanpa manipulasi untuk kepentingan politik tertentu atau kepentingan lainnya. Karena sisi seni kerajinan bambu itu sendiri yang lebih diekplorasi, dan tidak satupun politisi yang diuntungkan.
8. Jika DISLOKASI BUDAYA itu dimaknai sebagai sebuah fakta ketercerabutan kebudayaan, tentu saja tidak tepat dinisbatkan pada replika menara eiffel bambu di Singaparna. Karena replika itu tidak terbuat dari bahan METAL, melainkan AWI (bambu). BAMBU itu adalah fakta kearifal lokal.
9. Mohon Kabar Priangan mengoreksi, tahun berdirinya MESJID MANONJAYA karena bukan tahun 1898. Ini adalah kesalahan FATAL.
10. Selain itu, pemberitaan mestilah berimbang, dengan mengkonfirmasi kami sebagai panitia festival Tasikmalaya Motekart 2015. Karena terdapat statement yang bersifat wacana dan tidak faktual.Demikianlah media semestinya bekerja secara profesional.
Saya tidak habis fikir, arsitektur mesjid manonjaya sendiri adalah wujud akulturasi budaya Eropa, Arab, Cina, Sunda, dan Jawa. Apa ini juga disebut dislokasi pada zamannya?