Giliran Dr Warsito, Ilmuwan Terapi Kanker Dilarang Riset di Indonesia

0
4247
dr warsito

Selepas Ricky Elson yang tidak didukung pemerintah dalam mengembangkan mobil listrik di tanah kelahirannya sendiri sekembalinya dari Jepang. Kini Warsito Purwo Taruno yang terpilih sebagai penerima BJ Habibie Award ke-8, harus gigit jari karena tidak diperbolehkan melanjutkan riset tentang alat canggih pemindai dan terapi kanker tanpa operasi oleh salah satu lembaga pemerintah.

Giliran Dr Warsito, Ilmuwan Terapi Kanker Dilarang Riset di Indonesia. Setelah menyelesaikan Ph.D di Teknik Elektro Shizouka University Jepang, selain Habibie Award, beberapa penghargaan telah diraihnya seperti Achmad Backrie Award, 100 Tokoh Kebangkitan Indonesia versi majalah Gatra tahun 2008 dan penghargaan dari American Institute of Chemist Foundation Outstanding Post-doctoral Award tahun 2002. Saat ini dia menjadi Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI).

Dalam status facebooknya pada tanggal 30 November 2015, menuliskan surat terbuka mengenai hambatan yang kembali diterimanya di negeri sendiri.

ECCT12 tahun yang lalu hari-hari ini, saya kehilangan data riset saya hasil kerja selama 15 tahun. Komputer laptop terakhir saya ‘crash’ setelah berhari-hari menjalankan program rekonstruksi data pemindaian. Sebelumnya 2 komputer lain yang menyimpan data backup hangus tersambar petir, 2 lagi juga ‘crash’ terlebih dahulu karena tak mampu menjalankan program.
Ketika baru memulai membina riset di Indonesia selama 6 bulan, langit bagaikan runtuh, seolah-olah mengatakan: “Tak ada tempat buat saya di Indonesia.”
Tak ada ‘shock’ yang lebih berat dari itu yang pernah saya alami dalam hidup saya hingga membuat saya seminggu lebih tak mampu keluar rumah.
Tetapi hal itu tak merubah niat saya untuk mencoba membangun riset di Indonesia. Dari puing-puing akhirnya ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography) lahir, hari-hari ini 12 tahun yang lalu di sebuah ruko di Tangerang. Tahun berikutnya paten ECVT didaftarkan di PCT. 3 tahun kemudian ‘granted’. Tahun 2006 ketika polemik sedang panas-panasnya tentang ECVT, NASA memakainya untuk pengembangan sistem pemindaian di pesawat ulang-alik. 2007 jurnal ECVT terbit di IEEE Sensors Journal, dengan alamat Fisika UI. 2008 Dept Energi Amerika memakainya sebagai model sistem pemindaian untuk pengembangan ‘Next generation power plant’ dan untuk verifikasi hasil simulasi supercompter skala penta-eksa.
Di Indonesia ECVT berkembang lebih banyak ke aplikasi di bidang medis, bekerja-sama dengan Fisika Medis UI, Biofisika ITB, Biologi IPB, Litbangkes, Metalurgi Untirta, Kedokteran Unair, Biomedik UIN, Biomedik ITS, Univ. Kyoto dan lain sebagainya. Di Indonesia lahirlah teknologi pertama di dunia: Breast ECVT untuk screening breast cancer secara 4D dan instant, serta Brain ECVT untuk pemindaian aktifitas otak secara 4D dan real time.
Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi kanker, ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy), didaftarkan paten Indonesia 2012. ECCT dan ECVT adalah setara dengan radioterapi untuk terapi dan CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.
ECVT dan ECCT jelas memberikan harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi non-radiasi. Dengan ECCT misalnya kasus yang sudah tidak ada jalan keluar sebelumnya seperti kanker di tengah batang otak atau kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh masih mungkin dibersihkan (dibersihkan, tanpa tanda kutip) dengan ECCT.
ECVT dan ECCT bisa dikatakan tak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, pertama di dunia.
Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita.
ECVT dan ECCT hanyalah teknologi yang dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain.
12 tahun kemudian sejak pertama kali ECVT ditemukan, hari ini di tempat yang sama saya mendapat surat dari sebuah lembaga agar saya menghentikan semua kegiatan pengembangan riset saya di Indonesia. Haruskah pertanyaan 12 tahun yang lalu perlu diulang: “Tak ada tempat buat saya di Indonesia?”
Warsito P. Taruno
Tangerang, 30 Nopember 2015

Dilansir dari detik.com, Sistem ECVT ini mirip dengan USG, CT Scan dan MRI yang bisa melihat kondisi di dalam tubuh, namun ECTV ini lebih canggih karena pasien tidak perlu masuk ke dalam ruang tertutup. ECTV ini bisa digunakan di mana saja karena bentuknya yang unik ada yang mirip bra, helm dan rompi.

“Alat ini bisa memotret dalam tubuh manusia, karena bisa dipotret 3 dimensi dan kecepatan tinggi jadi bisa juga berbentuk video. Bisa merekam aktivitas di dalam otak itu seperti apa, dan mendeteksi kelainan seperti tumor, kanker, epilepsi, kegilaan, kalau otak sedang stres juga bisa terlihat,” ucap Warsito kepada detikcom, Jumat (21/8/2015).
Sama halnya dengan otak, ECVT ini juga bisa mendeteksi kanker payudara. ECVT terdiri dari empat perangkat yakni pertama brain activity scanner yang berfungsi untuk mempelajari aktivitas otak manusia secara tiga dimensi. Bentuk alat ini seperti helm dengan puluhan lubang konektor yang dihubungkan dengan komputer. Alat ini bisa mendeteksi ada atau tidak sel kanker di otak. Kedua, breast activity scanner yang berfungsi untuk mendeteksi adanya sel kanker di payudara.
“Kanker payudara bisa terlihat,” ucap Warsito
Perangkat lainnya adalah brain cancer electro capacitive therapy dan breast cancer electro capacitive therapy. Dua alat berbasis gelombang listrik statis dengan tenaga baterai itu terbukti dapat membunuh sel kanker lebih mudah dari kemoterapi. Jika kemoterapi terasa menyiksa, maka dengan alat ini hanya mengeluarkan keringat berlendir dan sangat bau. Urine dan kotoran yang dikeluarkan penderita juga berbau busuk karena sel-sel kanker ikut keluar bersama urine, keringat dan kotoran.
Di bidang industri alat ini bisa digunakan untuk melihat isi reaktor (alat pembangkit tenaga) yang dilapisi dinding baja. “Biasanya tertutup dinding baja, (dinding) itu bisa dipasang sensornya dan kita bisa melihat ke dalam reaktor itu secara 3 dimensi langsung,” katanya.
Selain membasmi kanker, sistem ini menurut Warasito juga mampu mendeteksi psikologi seseorang, namun masih perlu penelitian lebih lanjut. Kini temuannya terus dikembangkan bersama dengan timnya.
“Masih akan terus dikembangkan, sekarang aplikasi mendeteksi psikologi dan juga lie detector,” ucap ayah 4 anak ini.

Netizen mulai beropini di wall Warsito Purwo Taruno dan tetap mendukung agar tetap melanjutkan proyek penelitiannya.

“Yang menyedihkan malah diboikot ahli2 medis di Indonesia dan lembaganya dg menyamakan Dr Warsito dg Ponari dan batu ajaibnya. Barokallah dan sukses terus Dr. Warsito Purwo Taruno, yg jadi pertanyaan lembaga kesehatan/dokter itu maunya apa ya, mau jadi tiran gitu memaksa menghentikan riset?.” Tulis Ahmad.

“Hehehe.. Panik. Ada yang lapaknya keganggu. Jualan alat kesehatan emang gede kali untungnya. Daripada susah – susah bikin sendiri. Pemburu rente. Maju terus pak Warsito Purwo Taruno!” komentar Rihan.

“Disaat negeri ini mulai memperlihatkan cerita sukses putra putri bangsa, sungguh tega oknum aparat ingin menghentikan karya anak bangsa yg mungkin akan menghadiahkan nobel pertama bagi bangsa ini… Proud of you Pak Warsito Purwo Taruno” opini dari Haryandi

[Baca : Surat dari Kemenkes Bukan Hentikan Riset Dr Warsito, Ini Faktanya!]

BACA JUGA