Negara yang dikelola berlandaskan pada demokrasi dianggap yang paling “cerdas” saat ini. Sayangnya di beberapa negara, termasuk di Indonesia, demokrasi tampaknya hanya dijadikan alat beberapa gelintir orang dan kelompok dalam mencapai tujuan mereka.
Mengelabui rakyat polos untuk menghimpun suara dan secara legal menguasai rakyat sesuai kehendak pemenang, adalah hal yang dianggap demokratis. Atau dengan kata lain, kejahatan berdasarkan suara terbanyak adalah demokratis, lebih mulia dibandingkan kebaikan yang dilakukan oleh tirani.
Sekarang, mari tengok kondisi negara kita. Negeri demokrasi terbesar yang pernah dibanga2kan dunia, ternyata hanya dikendalikan oleh sekelompok elit yang memiliki uang, kekuasaan, media, dan alat2 politik berlabel demokrasi.
Sewaktu SD, saya hanya tahu bahwa demokrasi itu dari rakyat untuk rakyat. Saya rajin mencari dan berharap rakyat saat ini sedang disejahterakan, diberi pekerjaan layak, disehatkan, diayomi, diperbaiki mentalnya, diperbaiki ahlaknya, dimandirikan hingga tenang dunia akherat. Dan sekarang saya baru tahu kalau prinsip demokrasi mungkin sudah berubah.
Mereka yang berkuasa, baik eksekutif maupun legislatif, dan hampir saja yudikatif entah disengaja atau tidak, terjebak pada konflik berkepanjangan. Siapa lagi yang bertugas mendengar rakyat?
Lembaga2 negara yang vital, baik KPK maupun POLRI, entah sadar atau tidak, kehilangan legitimasi. Siapa lagi yang bertugas melindungi rakyat?
Kementrian2 teknis maupun koordinasi, entah mampu atau tidak, sering malah menunjukkan tontonan akrobatik dibandingkan kerja keras. Siapa lagi yang akan bekerja untuk rakyat?
Ya, konflik seakan menjadi buah demokrasi Indonesia yang asam2 sepet. Bagi sebagian orang, ada yang membuat muntah, ada yang maksa2in mencoba, ada yang sedikit berusaha membuatnya jadi manisan agar tidak dibuang percuma. Namun, tidak ada orang yang suka menanam pohon berbuah tidak unggul seperti itu (entah bila di Indonesia).
Bagi golongan optimistik, mereka keukeuh meyakinkan bahwa semua akan indah pada waktunya, bagi golongan pesimistik (karena sedikit rasional), mereka sudah tidak sabar ingin membuat perubahan, dan bagi golongan oportunistik, mereka mah memang selalu mencari keuntungan pribadi dari dua golongan tersebut :)
Saran buat Presiden Jokowi, satu2nya orang yang bisa membuat perubahan di negeri ini (katanya), sudah saatnya Bapak melantangkan kembali apa itu Nawa Cita, bagaimana mewujudkannya, berapa lama akan terwujud, mengapa saat ini belum keliatan arah wujudnya, dan penjelasan2 lain yang sangat ditunggu oleh rakyat. Jangan sampai gelisah rakyat diabaikan, karena demokrasi tanpa mendengar rakyat, adalah demokrasi gagal total.
Sumber akun facebook seorang apoteker yang peduli terhadap nasib negeri tercintanya