Bidhuan.id – Siapa sih yang mau sakit ? apalagi kalau harus menginap di rumah sakit hingga berhari-hari. Meski bermalam di rumah sakit kelihatannya enak, karena selain dirawat dengan baik kita juga diberi makanan yang bergizi. Tapi di sisi lain kita harus mau dijejali obat-obatan agar cepat kembali sehat. Tak jarang obat yang kita dapatkan silih berganti saat pagi dan malam. Jumlah tiap dosis pun bisa cukup banyak dan berhasil membuat kita bosan dengan obat hanya dalam 2 hari sementara kita masih harus bermalam di kamar pasien hingga 4 hari atau lebih.
Bukan hal kebosanan seperti itu saja yang kadang justru menghambat proses pemulihan seseorang. Beberapa penelitian bahkan menyimpulkan bahwa salah satu penunjang cepat tidaknya orang sembuh adalah perasaaan senang. Bayangkan saja, sudah bosan dengan keadaan di rumah sakit dan rutinitas yang itu – itu saja. Kita juga dituntut harus mengkonsumsi berbagai obat yang tidak semua orang suka, hal ini tentu akan menimbulkan perasaan-perasaan lain yang menyebabkan orang justru kurang bersemangat.
Belum lagi biaya administrasi rumah sakit yang biasanya tidak murah. BPJS atau asuransi Negeri apapun itu, tidaklah cukup membantu malahan justru menghambat kesembuhan pasien kebanyakan pada penerapannya saat ini. Sudah banyak contoh orang-orang yang mencoba menggunakan BPJS tapi justru merasa di anak tirikan oleh pihak rumah sakit. [Baca:Persediaan Obat Terkendala, RSUD Teluk Kuantan Hentikan Layanan BPJS]
Kembali ke masalah obat, kita tahu kalau obat yang lebih cepat memberikan efek kesembuhan adalah obat yang harganya justru bisa buat kita tambah sakit. Benar memang, hal itu juga telah disampaikan oleh Muhamamd Syarkawi, ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Menurutnya, harga obat di Indonesia termasuk yang termahal di ASEAN. Hal itu terjadi lantaran memang tak adanya aturan khusus tentang “harga jual obat eceran tertinggi” dari Pemerintah, baik obat premium maupun obat-obatan yang kita kenal dengan obat generik. Ia mencoba membandingkannya dengan negara tetangga yakni negara Malaysia. Harga obat di sana bisa lebih murah dibanding kita, meski murah mereka masih bisa memberikan pelayanan maksimal pada pasien.
Mahalnya obat-obatan juga termasuk akibat pengkategorian obat itu sendiri. Saat ini ada tiga jenis obat yang biasa beredar yaitu generik, paten, dan bermerk [Baca: Masyarakat Harus Tahu Arti Sebenarnya dari Obat Paten, Merk, dan Generik]. Padahal lebih baik jika ada dua jenis saja yaitu paten dan generik. Namun nyatanya jenis generik bermerk pun masuk dalam kategori, sementara obat-obat jenis inilah yang harganya mudah lepas dari kendali harga pasar.
Syarkawi berpendapat, kini sudah saatnya Pemerintah ikut membuat kebijakan tentang harga obat-obatan. Misalnya, untuk obat premium sebaiknya dipatok harga maksimal tidak lebih dari dua kali lipat obat generik biasa. Dengan adanya aturan mengenai penetapan harga oleh Pemerintah, tentu dalam menetapkan harga industri obat tidak lagi bisa menetapkan harga semaunya. Harga obat yang begitu mahal ini sudah terlihat begitu memprihatinkan dan bila tak segera diambil tindakan akan menjadi boomerang yang fatal untuk kesehatan kita sendiri.