Bidhuan.id – Fenomena penggunaan semut atau kutu Jepang untuk pengobatan berbagai macam penyakit degeneratif terutama diabetes semakin digandrungi masyarakat. Bahkan, konon katanya khasiat semut jepang ini sangat ampuh untuk mengobati berbagai penyakit. Namun, apakah hal tersebut benar? Memang banyak yang menyebutkan dalam iklan nya kalau “manfaat semut jepang” untuk kesehatan itu ampuh. Tapi apa kita lantas bisa percaya begitu saja sebelum ada fakta ilmiah yang menyatakan manfaat semut jepang tersebut?
Isu hangat tentang efek samping semut jepang membahayakan pun kerap muncul di media sosial. Kerap kali muncul juga pertanyaan tentang apa sebenarnya semut Jepang atau semut ragi ini dilihat dari sisi ilmiah? Lalu bagaimana anjuran dari ahli? Dihalaman ini kami akan coba kupas semua itu dari berbagai sumber.
Fenomena Semut Jepang
Saat ini ada 2 sisi kepentingan berbeda terkait semut jepang tersebut yang mana hal itu bisa menjadikan bumerang baik bagi masyarakat itu sendiri atau pasien yang mengkonsumsi semut jepang dengan tujuan mendapatkan manfaatnya.
Harga Semut Jepang
Fenomena maraknya konsumsi semut Jepang ini bisa dijadikan ladang bisnis bagi yang tergiur ternak hewan ini. Bagaimana tidak? satu semut dihargai 1000 rupiah dan rata-rata dipesan dengan jumlah 100 buah. Hal ini pula membuat penjualan secara online marak terjadi. Selain itu, pasien dimungkinkan akan terus dijejali promosi yang tidak berdasarkan fakta ilmiah yang ada.
Ternak / Budidaya Semut Jepang
Waktu budidaya semut ini sendiri membutuhkan waktu sekitar 1 – 2 bulan untuk siap dijual atau dikonsumsi sendiri. Dari mulai ulat, larva, kumbang kecil, sampai dewasa.
Alasan dinamakan semut atau kutu Jepang, menurut beberapa situs penjualnya karena induknya berasal dari Jepang. Berikut adalah salah satu liputan dari beritasatu.
Namun sungguh aneh, sebab penelusuran bidhuan, dari situs resmi database semut Jepang tidak ada spesies yang menandakan semut Jepang yang ada di Indonesia. Baik pada spesies umum maupun langka.
Terlebih dari ciri morfologi semut, jelas tidak menunjukan semut Jepang ini berjenis semut. Ciri semut sendiri ialah badannya bersegmen memiliki antena yang panjang.
Bisa disimpulkan bahwa semut jepang bukan jenis semut yang berasal dari Jepang. Lalu kalau bukan semut apakah berbentuk Kutu?
Dari gambar diatas bisa dilihat morfologi umum untuk kutu manusia. Dan hal tersebut jauh berbeda dari apa yang ada pada semut Jepang di Indonesia terutama bagian abdomen.
Semut Jepang Mirip Kumbang Ulat Hongkong?
Morfologi yang paling mendekati adalah spesies Tenebrio molitor yang merupakan kelas serangga yang dikenal juga sebagai yellow mealworm atau dikenal Ulat Hongkong pakan burung agar mudah berkicau yang akan berubah menjadi seekor kumbang seperti dikutip dari situs omkicau.com.
Dari genus tenebrio terdiri dari ténébrion meunier, yellow mealworm, dark mealworm, dan ténébrion obscur. Belum ditemukan data adanya spesies untuk semut jepang yang ada di Indonesia ini.
Dikutip dari situs semut-jepang.com, ada beberapa perbedaan antara hewan Tenebrio Molitor dengan semut jepang dimana memiliki beberapa siklus fase kehidupan (metamorfosa). Mulai dari telur, lalu menetas menjadi larva (disebut ulat hongkong), setelah mencapai ukuran maksimal, larva akan berubah menjadi pupa atau kepompong, fase kepompong berkisar selama satu minggu hingga menjadi serangga dewasa Tenebrio Molitor. Sedangkan fase larva pada semut jepang lebih lama dari ini dan juga tidak bisa terbang.
Di luar Indonesia, larva ulat hongkong dikenal dengan nama Meal Worm atau Yellow Meal Worm. Ukuran panjang tubuh larva dewasa bisa mencapai 33 mm atau 3,3 centimeter dan berdiameter 3 mm. Larva akan berganti kulit sebayak 15 kali sebelum menjadi kepompong. (disisi lain Semut jepang tidak mengalami pergantian kulit kepompong sebanyak itu, dan larvanya sangatlah lunak).
Pentingnya Penelitian Terkait Semut Jepang
Oleh karena itu penelitian mengenai determinasi spesies dan kandungan serta khasiat dari serangga ini perlu dilakukan pemerintah melalui Kemenkes atau Institusi Pendidikan mengingat pemakaiannya telah marak digunakan.
Dr Warsito yang jelas sedang melakukan penelitian saja dihentikan pemerintah dengan dalih belum diuji klinis serta keamanan belum teruji, apakah berbeda dengan pengobatan dengan serangga yang belum jelas asal usulnya saat ini? [Baca: Miris! Ditolak Indonesia, Kini Warsito Kembangkan ECCT di Polandia]
Lalu bagaimana menurut ahli medis? dikutip dari kompas.com
Menurut dr Tri Juli Edi Tarigan, SpPd-KEMD, semut jepang sendiri hingga kini masih belum dapat dipastikan keamanan dan manfaatnya untuk pengobatan diabetes karena belum teruji sesuai dengan standar penelitian. Menurut dia, masyarakat sebagai konsumen harus cerdas dalam memilih metode pengobatan.
“Semut jepang itu kita menganggap belum ada bukti sahih penelitian yang dianggap standar. Jadi, konsumsi itu kan hanya dari pengalaman, testimoni orang ke orang saja,” ujar dokter yang akrab disapa TJ itu saat dihubungi Kompas.com, Rabu (10/2/2016).
Jika dikonsumsi sembarangan, apalagi tanpa dosis yang jelas, hal itu tentu bisa saja malah menimbulkan efek negatif. Mengenai pasien yang dikabarkan ususnya terinfeksi bakteri karena rutin mengonsumsi semut jepang, menurut TJ, juga perlu penelitian lebih lanjut.
Kasus pada satu orang tersebut, lanjut TJ, juga belum bisa disimpulkan bahwa mengonsumsi semut jepang bisa merusak usus.
Tak hanya semut jepang, apa pun obat yang dikonsumsi sebaiknya memang yang sudah teruji klinis. Untuk dinyatakan aman dan bermanfaat bagi kesehatan manusia, obat-obatan harus melewati berbagai tahap uji klinis, mulai dari uji terhadap hewan.
Setelah itu, ada uji pembanding dengan kelompok kontrol yang diberi obat-obatan dan kelompok yang tidak diberi obat. Kemudian, harus dibuktikan efektivitasnya, apakah merusak organ vital lain atau tidak.
“Kalau memang efektif, harus tahu bahan aktifnya apa yang menyebabkan gula darah turun, kompenennya apa, zat apa,” kata dokter yang praktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.
Menurut TJ, sejauh ini, untuk mengatasi diabetes, selain dengan obat-obatan, yang terpenting adalah terus menjaga pola makan sehat dan melakukan aktivitas fisik.
Semoga tulisan diatas bisa menjadi pertimbangan bidhuaners dalam mengkonsumsi semut jepang ini. Selain itu, kita pun harus lebih bijak terhadap fenomena maraknya semut Jepang saat ini sebab fakta ilmiah tentang manfaat semut jepang sebagai obat sampai saat ini belum terbukti.