Solusi Hindari Gratifikasi, Gaji Dokter Dinaikan Peran Apoteker Ditingkatkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih tetap menganggap bahwa pemberian dari perusahaan farmasi untuk biaya seminar adalah sebuah gratifikasi. Adanya praktek pemberian bantuan dari perusahaan farmasi dibenarkan terjadi adanya oleh Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ilham Oetama Marsis.
Dalam press releasenya di harian tribunews.com, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ilham Oetama Marsis, mengatakan gratifikasi berbentuk sponsorship dari perusahaan farmasi, adalah sesuatu yang banyak diterima oleh seorang dokter selama ini.
Mengacu pada Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, diatur bahwa seorang dokter wajib menempuh pendidikan berkelanjutan.
Ilham Oetama Marsis mengatakan untuk sebagian dokter, biaya untuk pendidikan berkelanjutan tergolong mahal, dan untuk kasus tersebut, sponsorship sangat dibutuhkan.
Selain itu di Kode Etik Kedokteran Indonesia juga diatur soal kewajiban seorang dokter, mengikuti temu ilmiah seperti seminar, simposium dan lokakarya.
Partisipasi dokter di temu ilmiah, akan dinilai oleh kredit yang, yang dibutuhkan untuk memperpanjang izin praktik.
Biaya untuk menghadiri berbagai temu ilmiah tersebut, tidak selalu murah. Sebagai contoh untuk dokter di daerah, ia harus merogoh kocek yang lebih dalam, untuk menghadiri acara di ibukota. Selain itu, untuk menghadiri acara di luar negri, dokter juga butuh sponsor.
“Dalam hal ini apakah negara akan turut berperan serta, negara belum punya cukup uang,” ujar Ketia Umum IDI, di sekretariat Pengurus Besar IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/2/2016),
Untuk dokter pemula yang gajinya hanya sekitar Rp 3,5 juta, tentunya tidak mungkin jika ia harus mendanai sendiri sekolahnya, atau biaya untuk menghadiri temu ilmiah di luar kota.
“Pemerintah tidak memberikan dana, solusinya tingkatkan oenghasilan dokter, THP (take home pay) rasional,” jelasnya.
Walaupun menerima gratifikasi, ia memastikan dokter bisa menjaga kemandiriannya. Hal tersebut sudah diatur di Kode Etik Kedokteran (Kodeki), dan dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara IDI dan perusahaan farmasi.
“Sepanjang yang kami laksanakan, sponsorship yang berlaku menunjang program P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan),” terangnya.
Berikut adalah timeline dari akun resmi IDI, terkait press conference berkaitan dengan gratifikasi
Konferensi Pers PB IDI meluruskan pemahaman tentang kesepakatan pencegahan gratifikasi dokter. pic.twitter.com/315JpIlwl4
— PB IDI (@PBIDI) February 11, 2016
Siaran Berita PB IDI Kesepakatan Pencegahan Gratifikasi Dokter pic.twitter.com/5tjyKBMuEl
— PB IDI (@PBIDI) February 11, 2016
Sementara dikutip detik.com, “Jadi kami tegaskan tidak ada sponsorship atau beasiswa yang diberikan pada dokter untuk sekolah spesialis atau semacamnya,” kata Ketua Umum IDI Oetama Marsis dalam jumpa pers di kantor PB IDI, Jl Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/2/2016).
Penjelasan ini diberikan Oetama menyusul beredarnya rumor dokter yang rentan gratifikasi melalui jalur pendidikan. Ia menjelaskan, selama ini pemberian sponsorship yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran (Kodeki) hanya menyangkut 3 hal saja.
“Dalam sponsorship hanya sebatas transportasi, akomodasi dan pendaftaran untuk seminar atau simposium saja. Tidak lebih,” tegasnya.
“Dan secara tegas PB IDI menyampaikan bahwa pemberian sponsorship pada dokter dalam rangka pendidikan berkelanjutan dengan memenuhi batasan yang ditetapkan dalam Kodeki tidak termasuk dalam pelanggaran kode etik,” sambungnya.
Ia mengatakan keikutsertaan dokter dalam simposium atau seminar selama ini kontribusinya hanya sedikit dari total 250 SKP yang harus dikumpulkan dokter dalam 5 tahun. Untuk pembelajaran seperti mengikuti seminar, simposium, membaca jurnal dan pengujian diri sendiri hanya sekitar 20 persen atau 10 SKP.
Meski begitu, selama ini dokter bisa mencari sponsorship dari perusahaan farmasi untuk keperluan simposium tersebut. Hal inilah yang akan diatur kemudian dalam MoU dengan perusahaan farmasi agar tidak lagi ada kontak fisik antara dokter dengan perusahaan farmasi.
“Selama ini memang dokter bisa mencari sponsor sendiri. Makanya nanti akan kita atur,” terangnya.
Merujuk pada kesepakatan dengan KPK, pemberian sponsorship untuk dokter PNS akan dilakukan melalui rumah sakit sedangkan untuk dokter swasta melalui organisasi profesi.
Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik gratifikasi yang tak dipungkiri Oetama bisa dilakukan beberapa oknum dokter.
“Polanya bisa dari perusahaan farmasi, mereka melabel obat mereka yang sudah habis masa patennya yang dikenal dengan generik bermerek. Mereka melakukan promosi dan menjanjikan servis tertentu. Karena itu kami mensinyalir praktek itu ada dan dimasukkan dalam anggaran promosi,” pungkasnya.
Seorang kolumnis Ribut Lupiyanto melalui akun twitter pribadinya berpendapat bahwa selain biaya kuliah Kedokteran harus dipangkas juga sebaiknya peran apoteker ditingkatkan.
Kuliahnya dimurahin jg….. tingkatkan peran apoteker…. https://t.co/fAkF7aKSNq
— Ribut Lupiyanto (@ributlupy) February 11, 2016
Apoteker semestinya berperan penting dalam hal pengadaan obat di Instalasi Rumah Sakit atau Apotek dan klinik. Tentunya Dokter tidak bisa membeli secara langsung kepada perusahaan farmasi melalui medical representatif perusahaan farmasinya.
Berdasarkan informasi dilapangan, obat biasanya disediakan oleh Apotek atau klinik yang tentunya penanggung jawabnya adalah Apoteker, atau pembeliannya dengan numpang lewat (apotek panel) dengan komisi persentase tertentu terhadap apotek, tentunya gratifikasi bisa ditekan jika Apoteker berperan dalam pengadaannya.
Selain itu peran Apoteker akan lebih optimal jika regulasi untuk mengganti obat sesuai kondisi pasien melalui Permenkes terbaru tentang Apotek disahkan.