Kesejahteraan, Kepada Siapa Apoteker Berharap ?

0
6867
kesejahteraan apoteker

Kesejahteraan, Kepada Siapa Apoteker Berharap ? Tak bisa disangkal, kesejahteraan selalu menjadi isu menarik. Bagi Apoteker, topik ini kerap dikaitkan dengan sejumlah material (alat ekonomi) yang diterima setiap waktu tertentu dikaitkan dengan pelaksanaan tugas-tugas profesi yang dijalankan pada suatu entitas fasilitas kefarmasian tertentu. Di pihak lain, kesejahteraan juga dihubungkan dengan minimnya ‘usikan’ luar yang melingkupinya.

Sejauh data yang dimiliki oleh organisasi, kesejahteraan apoteker, dari dulu hingga saat ini selalu memiliki relevansi dengan penguasaan knowledge, skills dan attitude yang tidak lain merupakan derivasi dari kompetensi itu sendiri. Sayangnya, dalam mengoptimalisasikannya, ketiganya ternyata memerlukan prasyarat sosial yang cukup kompleks. Berpikir strategis adalah menjadi pilihan rasional yang tidak dapat dihindari. Suatu rekayasa sosial harus terus diupayakan agar cita-cita kesejahteraan dapat semakin didekatkan; meskipun untuk itu diperlukan ‘energi agregasi’ yang sangat tinggi.

Kembali menjawab pertanyaan utama, kepada siapakah Apoteker berharap kesejahteraan ? Untuk mempersingkat, kita ilustrasikan secara singkat dan mudah dalam 2 polaritas di fasilitas pelayanan (baca: Apotek) saja :

Harapan Kesejahteraan dari Transaksi Ekonomi

Penganut faham ini, biasanya menjadikan barang (baca: sediaan farmasi/obat) sebagai instrumen untuk menggali kesejahteraan. Bagi seorang pengusaha/pedagang umum, pandangan tersebut merupakan sesuatu yang mudah, sederhana dan bukanlah suatu kesalahan. Tetapi apabila hal tersebut terjadi pada Apoteker (sebagian besar, untuk tidak mengatakan semuanya), maka di sinilah masalah mulai muncul. Seluruh definisi obat yang ditanamkan dari kampus akan direduksi dan bahkan dieliminasi dengan tuntas. Seluruh pemahaman obat sebagai instrumen kesehatan pada akhirnya akan disimplifikasi ke dalam rumus akhir ‘margin dan volume penjualan barang’. Apoteker hanyalah alat pelengkap, pengaman dan sekaligus beban yang tak terhindarkan karena alasan peraturan perundangan agar bisnis farmasi bisa berjalan secara legal. Lain itu, tidak.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila kesejahteraan Apoteker sangat bergantung pada dinamika margin dan volume omset pada suatu fasilitas pelayanan. Jangan pernah berharap Apoteker akan memperoleh ‘bayaran Rp5 juta’ dari omset Rp100 juta dalam kondisi 80% dari penjualan (maaf: obat keras yang dijual !) bebas (rata-rata margin 14%) dan 20% dari pelayanan resep (rata-rata margin 25%), karena fasilitas harus juga menanggung biaya operasional yang tidak kurang dari Rp12 juta per bulan ditambah beban pajak, biaya managemen, risiko kerusakan barang, sewa tempat, perizinan serta target titik impas  yang ditentukan waktunya.

Sekeras dan serajin apapun Apoteker bekerja, beraktualisasi menuangkan ilmu, kemampuan diri dan sikap profesional di Apotek (dan fasilitas pelayanan lainnya), apabila pada akhirnya semua bentuk kompetensi tersebut selalu diwujudkan ke dalam satuan ‘penjualan barang’, maka Apoteker pasti akan selalu terjebak dalam kurungan ekonomi yang sempit dan menyesakkan nafas.

Menggantungkan kesejahteraan Apoteker pada Transaksi Ekonomi adalah suatu bentuk Ketidakberdayaan Profesi.

Harapan Kesejahteraan dari Transaksi Profesi

Transaksi Profesi adalah interaksi dua arah untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi klien dengan mempergunakan kemampuan (kompetensi) dan kewenangan yang dimiliki dan dikuasai oleh tenaga profesional yang bersangkutan. Instrumen profesi adalah benda khusus yang hanya akan dapat diaplikasikan pada seseorang oleh tenaga profesi yang relevan apabila telah diintervensi dengan sejumlah syarat dan ketentuan etis yang berlaku pada profesi yang bersangkutan.

Faham ini (untuk sementara) masih amat asing bagi Apoteker, meskipun profesi-profesi lain (tanpa perlu menyebut secara spesifik) sebenarnya telah menerapkannya secara konsisten tetapi dinamis. Apoteker (baca: IAI) belum pernah membuat suatu prasyarat profesi (apapun) agar suatu instrumen (baca: obat/produk) dapat dipergunakan oleh klien (siapapun) dalam berbagai level; serta belum pernah mengefektifkan penggunaan istilah-istilah profesi dalam suatu rangkaian komunikasi maupun pelayanan profesi pada berbagai kesempatan. Masyarakat dibiarkan memiliki persepsi secara bebas tentang obat dan mendapatkannya dengan sangat mudah sekali. Filosofi ‘Obat adalah Racun’, tidak pernah dijabarkan ke dalam satuan proses yang mampu men-skrining keinginan masyarakat agar sampai pada kesimpulan ‘Obat adalah Penyelamat’.

Dalam suatu fasilitas pelayanan, apabila obat dipandang sebagai instrumen profesi, maka seluruh energi Apoteker dipastikan akan terkuras untuk mengawal seluruh dan setiap rangkaian permintaan obat hingga penyerahan dan monitoring penggunaannya pada seorang pasien/klien dengan hati-hati dan penuh tanggungjawab. Sebagaimana profesi lain, adalah wajar bila klien harus membayar suatu ‘Jasa Profesi Tertentu’ sebagai syarat untuk mulai menjalankan mekanisme layanan profesi.

Bagaimana Apoteker menentukan Jasa Profesi ?

Permenkes 35/2014 meletakkan bahwa penyerahan obat kepada pasien/klien sebagai mekanisme paling krusial dan hati-hati dari suatu rangkaian proses pelayanan kefarmasian setelah menuntaskan skrining (kajian permintaan) secara benar serta menyiapkan edukasi, komunikasi dan (jika perlu) konseling dan membuat perencanaan untuk monitoring penggunaannya.  Tidak ada aktifitas ekonomi dalam seluruh rangkaian mekanisme tersebut serta tidak ada hubungannya dengan ‘HET Obat’ pada akhirnya (jika pun diatur oleh Pemerintah). Juteru yang lebih harus diperhatikan secara cermat adalah kemungkinan terjadinya risiko-risiko hukum, risiko farmasetis dan risiko klinis apabila apoteker telah meloloskannya secara administratif untuk suatu keputusan pemberian pelayanan. Dengan demikian, secara diametris, HET Obat dan “Jasa Profesi” adalah 2 hal yang terpisah serta memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

DIMANA PERAN IAI DALAM PENSEJAHTERAAN ANGGOTA ?

Secara singkat dapat dikatakan bahwa hingga saat ini IAI ‘belum berani’ pasang badan menghadapkan diri di depan publik untuk membuat rumusan kesejahteraan bagi anggota. Apabila pengertian kesejahteraan dimaknai sebagai “Gajih”, maka hal tersebut hanya relevan untuk perusahaan produksi, distribusi dan fasilitas kesehatan (meski pada kenyataannya hal tersebut diserahkan kepada pasar keberuntungan). Sebaliknya, secara filosofis, gajih tidak relevan bahkan cenderung berseberangan di tengah definisi Apotek. Dilematis. Mendirikan dan menyelenggarakan Apotek adalah otoritas personal Apoteker yang dilindungi oleh peraturan perundangan (Pasal 25 ayat 1, PP51/2009).

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh IAI terkait ‘arahan menuju kesejahteraan’ adalah dengan memberikan clue, sebagai berikut :

  1. Bahwa Apoteker di PBF harus dan hanya menyalurkan “sediaan farmasi Obat Keras ke atas” kepada dan melalui SP Apoteker Pelayanan yang sah dan masih aktif.
  2. Apoteker sendiri yang harus menulis SP Obat untuk Apotek.
  3. Apoteker membuat dan menjalankan SOP secara konsisten.
  4. Apoteker memasang Papan Praktik dan memenuhi ‘Janji Publik’ menjalankan Praktik
  5. Apoteker bersepakat konsisten untuk terus mereduksi “panel dispensing” panel “distribusi” dengan mengefektifkan peran PC dan PD.
  6. Apoteker tidak menciderai profesi dengan tidak bertindak menurut kemauannya sendiri atau karena tekanan/bujukan pihak lain.
  7. Apoteker “tegas kepada pemodal” terkait batasan pekerjaan kefarmasian dengan didukung oleh PC dan PD
  8. Apoteker melakukan pendekatan edukasi personal kepada pasien untuk mengikuti nasehat-nasehatnya.
  9. Apoteker ‘mulai berani’ mengkomunikasikan dan menentukan tarif jasa profesi secara persuasif.
  10. Apoteker memiliki integritas cukup untuk berhadapan dengan berbagai pihak terkait sikap-sikap profesi.

Meyakini dan memperjuangkan kesejahteraan dari Transaksi Profesi adalah suatu bentuk integritas diri.

Terkait penerapan Jasa Profesi, PD IAI Jawa Barat telah menerbitkan SK Tarif Jasa Pelayanan Kefarmasian Tahun 2013 sebagai Produk dari Rapat Koordinasi Daerah Jawa Barat di Cirebon serta sudah diedarkan ke seluruh Cabang, namun dalam kenyataannya masih sulit untuk dilaksanakan, dengan berbagai alasan keberatan.

Betapapun, IAI adalah sebuah Sistem Profesi. IAI Jabar telah berbicara banyak soal kesejahteraan dalam berbagai forum. Memberi pengertian, motivasi dan rumus sosial. Namun pengambil eksekusi di lapangan tetap adalah anggota sendiri.

Jika perlu, mari kita rumuskan ulang mengenai Definisi Kesejahteraan Profesi.

Lalu Jalankan !

Mari kita berkaca diri !

Disclaimer:

Bidhuan.id adalah situs sosial dan media website yang indenpenden. Artikel kiriman dari bidhuaners merupakan opini pribadi dan tidak boleh bertentangan dengan UU ITE. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya. Jika bidhuaners ingin menuliskan artikel seperti di halaman ini bisa melalui klik link berikut

BACA JUGA