Diduga Dokter Sebabkan Harga Obat Mahal, Ini Solusi Buat Apoteker. Setelah gaung Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) telah mengendus adanya ketidakberesan dalam distribusi obat yang berujung ke pemakaian obat merk tertentu dengan harga obat yang relatif mahal.
Kini giliran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI yang menilai bahwa obat yang diresepkan dokter saat ini dirasakannya memiliki harga yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan tidak sehat antara dokter dengan industri Farmasi seperti dilansir situs berita Batam dan Kepulauan Riau, keprinet.com.
Mahalnya harga obat-obatan yang dijual oleh apotik diduga ada praktik tidak sehat yang dilakukan perusahaan farmasi dengan melibatkan dokter ketika merekomendasikan resep obat.
“Dokter bisa menjadi salah satu faktor mahalnya biaya obat dibayarkan pasien. Ini terjadi saat dokter memberikan resep obat setelah sebelumnya melakukan kesepakatan dengan produsen obat,” kata Kepala Bagian Kerja Sama Dalam Negeri dan Humas KPPU RI, Dendy R Sutrisno.
Selama ini apoteker hanya memberikan obat sesuai resep dari dokter tanpa memberikan rekomendasi obat alternatif kepada pasien, yang kemungkinan harganya relatif lebih murah. Akibatnya pasien tidak memiliki pilihan obat yang harus dikonsumsinya.
“Ke depannya, apoteker atau instansi farmasi wajib memberikan informasi harga eceran tertinggi obat, bahkan menyampaikan alternatif obat yang mempunyai zat aktif sama dengan diresepkan dokter, sehingga maksud dari mekanisme ini agar ada pilihan buat pasien untuk menebus obat sesuai kemampuan ekonominya,” tuturnya.
Berdasarkan catatan KPPU, omzet dibukukan industri farmasi di Indonesia mengalami peningkatan dari 2014 sebesar Rp52 triliun naik 11,8 persen di 2015 yakni Rp56 triliun. Tingginya omzet industri farmasi ini tidak menjamin jika perusahaan farmasi melahirkan obat yang terjangkau dan layanan kesehatan yang baik bagi masyarakat.
“Padahal di Indonesia ini ada tiga jenis obat, yakni generik, generik bermerek dan obat paten, tiga jenis obat ini jumlahnya banyak sekali dan perbedaan harganya juga luar biasa,” tegasnya.
Melihat ini, KPPU akan mendorong pemerintah dalam hal ini membuat sistem atau mekanisme bagi pelaku industri farmasi melahirkan harga obat yang lebih terjangkau oleh masyarakat.
“Salah satunya melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 98 tahun 2015 mengenai harga eceran tertinggi agar masyarakat dapat menebus obat sesuai dengan kemampuannya,” ungkapnya.
Hal ini terjadi lantaran asimetri informasi seharusnya ada mekanisme disediakan pemerintah menjamin bahwa ketika dokter meresepkan suatu obat maka obat itu harus menyembuhkan pasien juga harus terjangkau.
“Andai kata tidak adanya mekanisme yang bisa membuat pasien memilih obat, maka dikhawatirkan menjurus praktik monopoli terhadap obat tertentu,” pungkasnya.
Usulan dari KPPI RI ini sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para Apoteker ketika survey di lapangan. Namun, sepertinya ini bukan solusi jitu untuk menanggulangi harga obat. Bukankah seharusnya diberantas di pangkal permasalahannya jika memang benar apa yang diduga oleh KPPI RI?