Akun facebook BEM KM Fakultas Farmasi Universitas Andalas memposting kajian tentang diperlukannya seorang Apoteker di Puskesmas saat ini. Lengkap dengan latar belakang peraturan dan juga alasan seberapa pentingnya peranan Apoteker di Puskesmas.
Perlukah Tenaga Apoteker di Puskesmas Saat Ini? Ini Analisisnya yang dilakukan BEM KM FFarmasi Unand. Dalam kajiannya disinggung pula peranan organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), pemerintah, termasuk diri apoteker sendiri.
Puskesmas butuh Apoteker!!
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 19 menyebutkan bahwa :
“Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa :
a. Apotek
b. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
c. Puskesmas
d. Klinik
e. Toko Obat, atau
f. Praktek BersamaDalam Peraturan tersebut telah dijelaskan bahwa Puskesmas juga merupakan salah satu fasilitas pelayanan kefarmasian. Hal ini juga ditegaskan kembali pada pasal 51 ayat 1 yang berbunyi : “Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”. Pasal 51 tersebut dengan tegas menggunakan “hanya”, yang artinya selain apoteker maka pelayanan kefarmasian tidak dapat dilakukan lagi. Namun, sangat disayangkan bahwa peraturan yang telah ada sejak tahun 2009 ini belum menunjukkan penerapan yang maksimal di lapangan.
Peraturan tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, seperti yang tertulis pada bagian latar belakang peraturan tersebut bahwa :
“Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat.”Menurut Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyebutkan bahwa dalam 5 tahun terakhir Puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian mengalami peningkatan hanya sebesar 10 % saja, yaitu sebanyak 9655 Puskesmas yang terdaftar, hanya 1501 Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Masih rendahnya jumlah puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar terjadi karena masih minimnya jumlah tenaga kefarmasian di Puskesmas. Berdasarkan data dari Badan PPSDM, baru ada 2.271 orang Apoteker yang bertugas di puskesmas.Namun, hal ini sangat berbanding terbalik dengan lulusan apoteker yang jika didata sangat banyak dan mencukupi bahkan berlebih untuk mengisi kekosongan-kekosongan di Puskesmas. Pada dasarnya Sumber Daya Apoteker sudah mencukupi hanya saja masih sedikitnya kualifikasi seorang lulusan Apoteker untuk menjalankan pelayanan farmasi klinik.
Permasalahan yang lain adalah masih kurangnya kesadaran tenaga kesehatan akan pentingnya pelayanan kefarmasian, hal ini bisa terlihat bahwa di Puskesmas tanpa adanya seorang Apoteker, tenaga kesehatan lain masih bisa memberikan obat. Padahal, pelayanan kefarmasian yang bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain sangat penting untuk mencapai terapi yang optimal pada pasien dan mengurangi efek-efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan. Masih minimnya kesadaran ini membuat masih acuh tak acuhnya Kepala Puskesmas terhadap peraturan yang dijelaskan di atas untuk menghadirkan Apoteker di Puskesmas.
Pemerintah juga belum menunjukkan dukungannya yang serius terhadap peraturan tersebut, terlihat dari masih kecilnya anggaran pemerintah daerah untuk Puskesmas sehingga Apoteker cenderung di kesampingkan untuk membiayai hal lain. Tidak hanya itu, tampaknya IAI juga belum menunjukkan taringnya dalam mendukung pekerja kefarmasian di Indonesia, belum adanya dukungan-dukungan yang kuat terhadap Apoteker di lapangan semakin menyurutkan Sumber Daya Apoteker itu sendiri.
Pasalnya dukungan dana yang diberikan agaknya berbanding terbalik dengan pekerjaan kefarmasian yang harus dilaksanakan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, mulai dari perencanaan kebutuhan sampai evaluasi penggunaan obat pada pasien. Terlihat belum ada penghubung atau advokasi yang jelas antara IAI selaku wadah apoteker Indonesia yang memperjuangkan hak apoteker dengan pemerintah yang mendukung terlaksananya peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia.
Banyak kendala yang sebenarnya melatarbelakangi kurangnya pelayanan kefarmasian terutama di Puskesmas meskipun telah didukung oleh Peraturan-Peraturan yang dikeluarkan oleh pihak terkait. Namun, masalah utamanya adalah bagaimana seorang apoteker atau tenaga kefarmasian meningkatkan kualitasnya sehingga memenuhi kualifikasi untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian.
Tidak hanya itu, pandangan masyarakat dan pandangan tenaga kesehatan lain sebenarnya terletak pada eksekusi apoteker di lapangan. Apoteker yang telah menduduki sistem pelayanan kefarmasian harusnya menjalankan fungsinya dengan baik dan sesuai standar sehingga masyarakat dan tenaga kesehatan lain paham dan mengerti pentingnya tenaga kefarmasian khususnya di Puskesmas yang merupakan salah satu sektor penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia terutama menengah ke bawah. Hal ini disebabkan masyarakat menengah ke bawah cenderung mengandalkan pusat-pusat kesehatan gratis yang mudah dijangkau. Sehingga kehadiran apoteker di Puskesmas diharapkan dapat menghasilkan pelayanan kefarmasian yang optimal.
Kajian yang menarik dan pantas untuk ditindaklanjuti bagi pihak-pihak yang terkait saat ini. Bagaimana menurut bidhuaners?