Kobaran api akibat kebakaran hutan di beberapa wilayah di pulau Kalimantan dan Sumatera membuat kabut asap menyebar hampir merata di seluruh pulau Kalimantan dan Sumatera seperti diperlihatkan NASA melalui foto pencitraan satelit. Bahkan Singapura dan Malaysia nyaris tidak terlihat.
NASA Perlihatkan Foto Asap Kebakaran Kalimantan dan Sumatera dari Satelit. Dilansir dari situs resmi NASA (http://earthobservatory.nasa.gov/), NASA menganggap kebakaran yang terjadi di Indonesia adalah sebagai peristiwa musiman dan sulit untuk dikontrol. Selain itu, butuh waktu berbulan-bulan untuk memadamkannya, pihak pemadam kebakaran menunggu adanya musim hujan untuk mematikannya.
NASA melansir bahwa penyebab kebakaran adalah banyaknya lahan gambut-campuran tanah kering, seperti bahan tanaman membusuk sebagian terbentuk di lahan basah-lapisan pantai Kalimantan dan Sumatera. Human error pun diungkapkannya ketika adanya sistem “slash and burn agriculture” atau “tebang dan bakar pertanian”. Di Indonesia, tujuannya adalah sering untuk membuat ruang untuk penanaman baru kelapa sawit dan akasia bubur.
“Kebanyakan pembakaran dimulai karena lahan sudah tidak terpakai, lahan gambut yang kering dan sudah dibersihkan diprediksikan memiliki sumber minyak di bawah tanahnya,” jelas David Gaveau dari Center for International Forestry Research.
Seperti yang terlihat dalam gambar satelit yang diambil pada tanggal 24 September 2015. Gambar ini diambil dari Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di satelit Terra NASA. Garis merah menunjukkan hot spot di mana sensor terdeteksi suhu permukaan luar biasa hangat terkait dengan kebakaran. Asap tebal abu-abu melayang di atas kedua pulau dan memicu peringatan kualitas udara dan peringatan kesehatan di Indonesia dan negara-negara tetangga. Visibilitas telah turun drastis.
Para ilmuwan yang memantau kebakaran khawatir bahwa masalah akan menjadi lebih buruk karena adanya gejala El Niño, seperti yang saat ini terjadi di Pasifik. El Nino memperpanjang musim kemarau dan mengurangi jumlah curah hujan. Selama El Niño yng terjadi pada tahun 1997, kurangnya hujan menjadikan kebakaran di luar kendali dan semakin meluas, hal ini sempat membuat rekor polusi udara dan gas rumah kaca tertinggi.
“Kami berada di lintasan yang sama dengan tahun yang buruk sebelumnya,” kata Robert Field, seorang ilmuwan Universitas Columbia berbasis di NASA Goddard Institute for Space Studies.
“Kondisi di Singapura dan Sumatera Utara melacak seperti terjadi di 1997 yang memiliki visibilitas kurang dari 1 kilometer (0,6 mil) selama seminggu. Di Kalimantan, ada laporan dengan visibilitas kurang dari 50 meter (165 kaki). ” lanjutnya
Aerosol data kedalaman optik (yang dikumpulkan oleh MODIS) menunjukkan tingkat partikel mirip dengan kondisi terburuk pada tahun 2006 yang merupakan peristiwa kebakaran terbesar terakhir yang terjadi belakangan ini. Pada kebakaran kali ini, tingkat yang tinggi telah terjadi pada beberapa minggu sebelumnya .
“Jika perkiraan musim kemarau terus berlanjut, ini akan menunjukkan 2015 akan menjadi peristiwa yang paling parah dalam sejarah,” Lanjut Field
Vrije Universiteit Amsterdam ilmuwan Guido van der Werf telah memantau jumlah dan ukuran dari kebakaran hutan di Indonesia dengan MODIS.
“Ada lebih dan lebih besar kebakaran tahun ini. Kami berada di jalur terburuk sejak 2001, dan itu dibuktikan dari pengamatan MODIS ” kata Guido van der Werf .
“Dan kita baru setengah jalan untuk mengakhiri musim kebakaran.” lanjut Guido.
Seiring dengan rekan-rekannya di NASA dan University of California, Irvine, van der Werf telah mengembangkan teknik untuk memperkirakan jumlah jejak gas dan partikel udara yang terbakar memancarkan-banyak polutan-berdasarkan pengamatan satelit dan tutupan vegetasi.
Proyek, yang dikenal sebagai Global Fire Emissions Database (GFED), menunjukan estimasi regional dan global dari emisi kebakaran berdasarkan data dari tahun 1997 sampai sekarang. Menurut analisis pada GFED, 2015 kebakaran Indonesia telah dirilis gas rumah kaca setara dengan sekitar 600 juta ton hingga 22 September, jika dibandingkan sama dengan jumlah karbon dioksida atau emisi setahun karbon di Jerman.