Karena Gratifikasi Kemenkes Sederhanakan Sistem SKP Dokter, Lalu Apoteker? Polemik pemberian bantuan seminar ilmiah dalam rangka pemenuhan Satuan Kredit Profesi (SKP) yang dianggap sebagai gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut.
Kementrian Kesehatan (Kemenkes) nampaknya mulai turun tangan dengan akan mencoba menyederhanakan sistem SKP yang dianggap membebani dokter dalam memperoleh dan memperpanjang Surat Tanda Registrasi (STR). 250 SKP untuk 5 tahun diartikan 50 SKP harus diperoleh dalam setahun.
Dikutip dari harian mediaindonesia, Kemenkes mengakui kegiatan mengumpulkan Satuan Kredit Profesi (SKP) dalam satu periode sangat memberatkan keuangan dokter/dokter gigi. Untuk itu, Kemenkes akan menyederhanakan kebijakan tersebut, agar menjadi lebih efisien, sehingga mengurangi potensi gratifikasi dokter.
“Kewajiban SKP jadi beban finansial pribadi dokter. Hal ini kerap dijadikan pintu masuk bagi perusahaan farmasi untuk menawarkan diri sebagai sponsor dengan syarat tertentu,” ujar Irjen Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Purwadi, di Jakarta, Jumat (5/2).
Besarnya beban yang harus ditanggung dokter/dokter gigi untuk mengumpulkan poin SKP, tergambar dari penjelasan Purwadi.
Dia menjelaskan, per periode atau setiap 5 tahun, mereka harus mengumpulkan sekitar 250 poin SKP. Poin tersebut bisa didapat dari sejumlah kegiatan seperti, seminar, simposium, workshop, pelatihan, bakti sosial, dan sebagainya.
Masing-masing kegiatan diberi nilai bobot yang berbeda-beda oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Jika dalam 5 tahun harus terkumpul 250 poin, artinya, dalam setahun minimal harus ikut sekitar 50 kegiatan seminar, misalnya. Padahal, biaya untuk mendaftar seminar tidak murah, antara Rp3 juta, bahkan sampai ada yang Rp50 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya akomodasi dan transportasi.
“Kalau dokternya tinggal di daerah, biaya lebih besar. Karena harus naik pesawat dan tinggal di hotel,” tandas dia.
Kegiatan mengumpulkan SKP ini bertujuan agar dokter selalu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan kompetensinya.
Kegiatan ini bersifat wajib bagi dokter/dokter gigi, sesuai dengan amanah UU No 29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran (Pradok). Selain itu, jumlah poin SKP akan menjadi syarat bagi mereka untuk memerpanjang Surat Tanda Registrasi (STR) ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Perpanjangan STR merupakan syarat bagi mereka untuk mengajukan perpanjangan Surat Izin Praktik (SIP).
Kendati tujuan pengumpulan poin ini mulia, mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, menjadi pintu masuk bagi perusahaan farmasi untuk menawarkan bantuan dalam bentuk sponsoship bagi para dokter untuk mengikuti sejumlah kegiatan tersebut.
Sejatinya pemberian biaya sponsoship dari farmasi bagi para dokter diperbolehkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Praktik seperti ini juga jamak terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Namun, di Indonesia, kebanyakan pemberian sponsorship itu, menurut Purwadi, disertai pamrih.
“Misalnya dokter harus menjual/meresepkan obat dari farmasi yang bersangkutan dalam target tertentu. Disinilah terjadi praktik gratifikasi,” tandas Purwadi.
Purwadi mengakui bahwa kegiatan mengumpulkan SKP adalah instruksi pemerintah. Namun, di sisi lain, negara juga tidak memiliki kemampuan fiskal yang cukup untuk membantu semua dokter untuk kegiatan pembelajaran terus menerus itu.
Yang bisa dilakukan dalam waktu dekat, lanjut Purwadi, adalah penyerdehanaan model pengumpulan SKP. Misalnya, seminar bisa dilakukan lewat teleconference. Atau kegiatan dokter mengobati pasien di puskesmas/klinik bisa dimasukan dalam poin SKP, dan sebagainya.
Sementara itu, Sekertaris Itjen Kemenkes Mustikawati menjelaskan, Sejatinya, Kemenkes sudah menganggarkan sebanyak 6,05% dari total anggaran pengembangan SDM medis sebanyak Rp63 triliun untuk kegiatan seperti SKP. Namun, karena jumlah dokter banyak, sekitar 126 ribu.
“Dengan penyederhanaan SKP, kita optimistis praktik gratifikasi dokter akan berkurang,” tandas dia.
Sebetulnya bukan hanya Dokter yang memiliki polemik pengumpulan SKP, profesi kesehatan lainya seperti Perawat dan juga Apoteker menggunakan sistem SKP untuk memperpanjang izin praktiknya. Saatnya pihak Kemenkes juga memperhatikan tenaga profesi kesehatan lainnya.