Kemungkinan ada 4 Faktor Penyebab Meninggalnya Pasien Kasus Bupivacain Menurut Praktisi Apoteker di Industri. Praktisi dunia Industri di Indonesia, Bambang Priyambodo yang juga saat ini sebagai Senior Plant Manager PT. Rama Emerald Multi, Jawa Timur memberikan pendapat pirbadinya di akun facebooknya.
Namun, beliau menegaskan bahwa statusnya ini merupakan opini pribadi secara profesional tanpa indikasi kepentingan apapun terhadap pihak – pihak terkait. Pendapat murni didasarkan pada keilmuan dan pengalaman kerja profesional.
Tulisan ini didasarkan pada penelusuran berita yang ada di media massa, bukan berasal dari investigasi resmi, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Penyebar-luasan informasi dari status ini merupakan tanggung jawab masing – masing.
MALPRAKTEK ATAU MISHANDLING?
Sudah lebih dari sepekan kasus meninggalnya 3 pasien RS Mitra Husada, Pringsewu – Lampung, hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak2 yg berwenang, baik dari Kementrian Kesehatan maupun Badan POM mengenai penyebab peristiwa tersebut. Sedikit berbeda dengan kasus serupa hampir setahun lalu yang demikian hebohnya. Mungkin karena menyangkut industri farmasi terbesar di Indonesia (bahkan di Asia Tenggara) dan Rumah Sakit (paling) bergengsi di Tanah Air ber-label “Internasional” sehingga menarik perhatian banyak pihak yg berkepentingan. Namun saya yakin, meskipun “tidak seheboh” kasus yg sama tahun kemarin, peristiwa meninggalnya 3 pasien akibat penggunaan obat anestesi Bupivacaine spinal membuat pejabat2 di Badam POM maupun kementrian Kesehatan gak bisa “tidur nyenyak” (entahlah..).
Posted by Bambang Priyambodo on Monday, April 11, 2016
Okay, terlepas dari segala “kontroversi”, ada baiknya kita mengambil “pelajaran penting” dari kasus ini. Dari aneka pemberitaan yang muncul justru yang “pro-aktif” dari pihak Kepolisian. Sementara dari Kemenkes maupun BPOM masih menunggu hasil investigasi yg masih terus dilakukan (entah sampai kapan.. ). Terlepas dari dugaan adanya “Malpraktek” yg diselidiki oleh pihak Kepolisian, mari kita lihat dari “sisi lain” kasus ini. Ada banyak “pelajaran yang amat sangat berharga” apabila kita “mau belajar” dari peristiwa yang sangat menyedihkan ini. Apa itu?
1. Kenali Jenis/Sediaan Obat Yg Digunakan
Seperti pada gambar, ada 2 jenis obat Bupivacain Injeksi, yaitu Spinal Injection dan Injeksi (biasa). Pada “Peristiwa Pringsewu” (kalo boleh disebut demikian), diberitakan bahwa sediaan Bupivacain diberikan secara “SPINAL” atau memasukan obat ke dalam cairan cerebro spinal (CSF) dengan cara menyuntikan obat ke sub arachnoid atau tulang belakang. Sementara jenis Bupivacaine yg lain justru TIDAK DIPERBOLEHKAN untuk digunakan secara spinal. Bupivacaine spinal sendiri pun ada 2 macam, yaitu Heavy dan biasa (tanpa glucose). Pertanyaannya, apakah jenis obat yang digunakan pada kasus ini SUDAH SESUAI apa belum? Mungkinkah terjadi “salah jenis obat/sediaan”? Kita tunggu hasil investigasi resminya.
Lesson learned: Hanya Apoteker yg bener2 “ngerti” soal obat yg bisa membedakan jenis2 sediaan ini. Sangat beresiko jika yang menyiapkan obat di Rumah Sakit tsb justru BUKAN orang yg berkompeten dalam menangani.
Posted by Bambang Priyambodo on Monday, April 11, 2016
2. Obat Injeksi, steril?
Injeksi Bupivacaine, sesuai dengan sediaanya harus dibuat secara STERIL. Artinya bahwa obat tersebut tidak boleh mengandung “mikroorganisme hidup” karena penggunaan obat jenis ini tidak melalui “garis pertahanan tubuh” manusia, yaitu membran kulit dan mukosa sehingga sediaan ini harus benar-benar bebas kontaminasi mikroba dan bahan-bahan toksis lainnya.
Secara garis besar ada 2 macam pembuatan obat agar obat bisa dibuat steril, yaitu secara Aseptis dan Non-aseptis. Jaminan terbesar bahwa obat tsb benar-benar STERIL adalah dengan cara NON-ASEPTIS dimana pada akhir proses pembuatan, sediaan tsb disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit sehingga semua mikroba dan kontaminan lainnya mati. Namun demikian, ada banyak obat yg tidak tahan terhadap pemanasan sehingga dalam proses pembuatannya tidak menggunakan proses post-sterilisasi. Jaminan sterilitas produk, disandarkan pada PRAKTEK PRODUKSI ASEPTIS. Produksi secara Aseptis ini amat sangat beresiko, karena TIDAK ADA JAMINAN bahwa SEMUA obat yg diproduksi tsb STERIL. Termasuk dalam hal ini adalah BUPIVACAINE INJEKSI ini. Satu-satunya yg bisa menjamin dan membuktikan bahwa telah dilakukan produksi secara aseptis adalah dengan Validasi Proses Aseptis atau yang lebih dikenal dengan “MEDIA FILL”. Inilah yg sedang diinvestigasi oleh Badan POM apakah cara produksi obat tsb sudah benar2 dilakukan sesuai dengan persyaratan pembuatan obat secara Aseptis apa blm, yg mana persyaratan CPOB 2012 sungguh sangat berat sekali. Termasuk 10 pabrik farmasi lain yg memproduksi obat sejenis.
Posted by Bambang Priyambodo on Monday, April 11, 2016
3. Handling Obat, terkait stabilitas obat.
Terus terang sejak awal kasus ini merebak, saya pribadi ada “kecurigaan” masalah stabilitas ini. Mengapa demikian? Terus terang, penanganan obat di negeri ini masih dibilang masih sangat kurang kalau tidak boleh dibilang “cukup mengerikan”. Coba Anda bayangkan, bahkan masih ada apotek yg melayani pembuatan obat puyer resep dokter dari obat yg disalut enteric. Ini baik dokternya maupun apotekernya sama2 sablengnya. Belum lagi masih rendahnya kebiasaan MEMBACA ETIKET/LABEL. Coba tanya pada diri sendiri, apakah Anda (terutama yang ada di komunitas) membaca SEMUA BROSUR yang ada di dalam wadah obat? Hayooo ngaku saja… Padahal pembuatan brosur tsb sangat tidak gampang/sederhana. Harus mendapat persetujuan dari Badan POM sebelum obat tsb dipasarkan. Bolak-balik revisi sdh menjadi “makanan sehari2” buat teman2 yang berhubungan dgn Registrasi. Bisa Anda bayangkan, brosur yang sudah dibuat begitu lengkap.. begitu susah.. sampe berdarah-darah (#lebay).. eeh tahunya cuman dicuekin aja.. bahkan cuman jadi bungkus tempe.. atau gorengan… Deww.. sakitnya tuh di sini.. di sini…. he3..
Padahal semua info soal obat ada semua di dalam brosur tersebut, termasuk CARA PENYIMPANAN OBAT yg benar, sehingga KUALITAS obat dapat terjamin. Seperti yang dipelajari selama bertahun2, stabilitas obat SANGAT dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor2 luar misalnya suhu, kelembaban, cahaya dan sebagainya. Seperti kita tahu bahwa Bupivacaine adalah obat yg TIDAK TAHAN terhadap panas dan Cahaya sehingga PENYIMPANAN harus dilakukan pada kondisi ruangan yang sejuk (suhu kurang dari 25°C) dan tidak terkena cahaya langsung serta TIDAK BOLEH DISIMPAN DI FREEZER. Terus terang, saya tdk tahu apakah kasus yg di Lampung ini berkaitan dengan stabilitas obat apa tidak. Perlu investigasi yg lebih mendalam.
4. Malpraktek?
Saat ini dari berita2 yg muncul di media massa adalah dugaan adanya malpraktek. Terus terang ini BUKAN “wilayah” keilmuan saya. Namun memang, Bupivacaine merupakan salah satu obat yg memiliki RISIKO sangat tinggi. Belum lagi masalah “ketrampilan” tenaga kesehatan dalam melakukan anestesi spinal. Selain faktor “menggampangkan”, misalnya sebelum dilakukan anestesi harus dilakukan pengujian alergi obat dsb. Apakah ini sudah dilakukan? Wallahua’alam.
Demikian sedikit pemikiran saya mengenai kasus ini. Sekali lagi, pendapat ini tidak didasari oleh bukti2 investigasi yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun semata2 menganalisa dari informasi yg ada di media massa jadi kebenaran maupun akurasinya, tidak bisa dipertanggung jawabkan. Semata2 untuk memberikan gambaran pemahaman sekaligus mengambil hikmah dari kasus yg sangat menyedihkan ini..
Wassalam. [Baca : Ini Hasil Investigasi BPOM Terkait Kejadian Tidak Diinginkan Obat Bupivacaine]
Bambang Priyambodo juga saat ini aktif mengajar sebagai dosen tamu di Program Studi Profesi Apoteker UII Yogyakarta, PSPA Fakultas Farmasi Universitas Jember dan Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Tulisan beliau lainnya di bidhuan.id bisa dililhat berikut ini Membedah “Rahasia Dapur” Industri Farmasi di Indonesia. Atau langsung menuju ke akun facebook pribadinya yang banyak menuliskan hasil pemikirannya terkait dunia industri farmasi di Indonesia.